Pendidikan di Indonesia
Kita dapat menyambut gembira atas prakarsa Bedah Buku Nasional Menggali Butir-Butir Pendidikan RM Suwardi Suryaningrat (RM SS).
RM SS yang kemudian bergelar DR Ki Hadjar Dewantara (KHD) adalah
Bapak Bangsa yang ajarannya relevan sepanjang jaman untuk diaplikasikan
oleh seluruh lapisan bangsa Indonesia. RM SS adalah cucu Sri Paku Alam
III, jadi sebagai kerabat sentono Kadipaten Pakualaman selayaknya bangga
kemudian “memetri” konsep gemilang RM SS tentang pendidikan dan
kebudayaan dalam ‘Pusat Kajian Ajaran RMSS’
Dalam pidato
pengukuhan DR HC di UGM, beliau sempat mengupas sejarah pendidikan dan
pengajaran di Indonesia. Sejarah pendidikan tradisi yang terdapat di
bumi nusantara itu dipelajari oleh RM SS. Dengan bersenjatakan “Trikon”
kemudian konsep-konsep pendidikan RM SS disusun, dipadukan, dilahirkan
dan diaplikasikan.
Menulusuri sejarah pendidikan di Indonesia
sejatinya sulit karena minimnya keterangan, bukti dan referensi yang
mendukung. Kalangan akademisi, perpustakaan tidak banyak memberikan
rekomendasi yang kita butuhkan utamanya periode pra penjajahan. Data,
manuskrip, prasasti dan barang peninggalan sejarah kejayaan Nusantara
banyak diangkut ke luar negeri, hingga tiap penulusuran sejarah di
Indonesia mengalami kendala.
Mencermati sejarah Pendidikan tidak
dapat lepas dari konteks sejarah Budaya suatu bangsa. Budaya Nusantara
termasuk budaya tertua di dunia misalnya tengkorak manusia Sangiran
beserta peralatan batu usianya lebih tua dari tengkorak manusia Peking.
Prof T. Jacob mengatakan bahwa 2 juta tahun yang lalu Pithecantropus
kita telah berkomunikasi linguistik secara terbatas. Bahasa moyang Jawa
berkembang secara pelahan-lahan dari sistem tertutup menjadi sistem
terbuka. Bahasa protolingua sudah berkembang pada 100 ribu s.d. 40 ribu
tahun yang lalu. Perkembangan yang penting terjadi sejak Homosapiens
hingga jaman pertanian, dimana hingga saat ini basis masyarakat kita
masih bertahan agraris. Pada era ini belum dikenal pendidikan yang
tersistem, yang mungkin ada ialah pelatihan ketramplan dengan cara
meniru seniornya.
Ketika kita mengagumi karya agung kemanusiaan
Candi Borobudur dan Prambanan, tersirat pemikiran bahwa di belakang
karya ini tentu ada pendidikan, pengajaran dan pelatihan yang telah
tersistem dengan baik. Namun data tentang sistem pendidikan saat itu
belum ditemukan orang selain prasasti dan buah hasil pemahatan.
Pendidikan pelatihan tenaga pematung pasti diikuti disiplin tertentu
hingga dapat membuat batu tersusun rapi geometris. Patung-patung dari
ujung atas hingga bawah di Borobudur seragam bentuk dan tekniknya,
padahal masa pembuatannya memakan waktu 3 generasi dan tetap tidak ada
deviasi interpretasi seni pemahatan.
Teknologi pembuatan candi
kala itu pasti merupakan teknologi garda depan di dunia. Bahkan hingga
saat inipun orang masih menobatkan sebagai keajaiban di dunia. Andai
candi-candi dibangun pada era sekarangpun tidak mudah direalisasikan dan
dengan biaya sangat besar. Pantaslah Bung Karno selalu
mengagung-agungkan betapa perkasanya bangsa di Nusantara kala itu.
Sesuai apa yang terpahat dalam relief candi, maka pendidikan selain
diberikan secara tertulis ada juga secara lisan. Pendidikan lisan baik
Hindu maupun Budha bisa berupa dakwah pengajian pimpinan agama atau
melalui dongeng, mythos, cerita, legenda secara turun temurun.
Sebelum penjajahan Belanda, sistem pendidikan secara tradisi
dilaksanakan di dalam Padepokan, Pawiyatan, Paguron. Pelajaran diberikan
kebanyakan secara lisan dan sering diikuti pelatihan
kanuragan/kaprajuritan. Dipelajarkan pula pelajaran tertulis
(lontar/logam) tentang falsafah, tata krama, budi pekerti, ketata
negaraan. Calon murid/siswa aktif mencari guru yang disebut antara lain
pendito, panembahan, hajar, dwijoworo, wiku sesuai yang dikehendaki.
Siswa yang diterima wajib ngenger (mondok) di paguron dan wajib
melakukan tugas-tugas tertentu. Siswa melebur menjadi bagian dari
keluarga di padepokan dengan segala perasaan asih asah asuhnya.
Setiap pagi hingga sore hari para siswa mengerjakan tugas pokok yang
telah diberikan, utamanya mengelola padepokan. Pelajaran baru diberikan
pada sore hari untuk siswa putri dan malam hari untuk siswa putra. Hal
ini sebagaimana diungkapkan oleh Prof Subalidinata yang mendapat
penuturan langsung dari kakeknya yang pernah ngenger di salah satu
padepokan di Jawa. Cantrik-mentrik dapat menikmati pelajaran secara
kondusif karena dalam Padepokan bersatulah suasana keluarga dan
perguruan. Hal inilah yang mengilhami RM SS melontarkan konsep
Wiyatagriya dalam perguruan Tamansiswa atau dikenal sekolah sistem
kekeluargaan (bukan nepotisme).
Artikel yang terkait :
-Penerapan TIK dalamPendidikan di Indonesia
- Pendidikan Karakter Untuk Membangun Manusia Indonesia Yang Unggul
- Remaja dan Internet
Artikel yang terkait :
-Penerapan TIK dalamPendidikan di Indonesia
- Pendidikan Karakter Untuk Membangun Manusia Indonesia Yang Unggul
- Remaja dan Internet
sip.........
BalasHapus